Wednesday, April 13, 2011

Tokoh Kebangkitan Nasional Dalam Usaha Kemerdekaan Republik Indonesia

ads.id Trade
Tokoh Kebangkitan Nasional dalam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia

1. Wahidin Sudirohusodo
Wahidin Sudirohusodo yaitu seorang tokoh pencetus ide lahirnya Budi Utomo 1908. Beliau lahir pada tanggal 7 Januari 1852 di Mlati, Sleman, Yogyakarta dan wafat pada tanggal 26 Mei 1917 dan dimakamkan di Mlati, Sleman, Yogyakarta. Semasa hidupnya, tahun 1895 bersama rekan-rekannya mendirikan Surat Kabar dua bahasa (Jawa dan Melayu) Retno Dumilah di Yogyakarta. Pada tahun 1906 hingga sdengna 1907 ulet melaksanakan perjalanan mengumpulkan Studiefonds (Dana Pendidikan) bagi penduduk pribumi. Setelah bertemu dengan Sutomo berpadulah gagasan mereka yang teraktualisasi dengan berdirinya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini balasannya menjadi pioner terhadap bangkitnya kesadaran nasional sehingga setiap tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari kebangkitan nasional hingga sekarang.Wahidin Sudirohusodo beristri seorang perempuan Betawi yang berjulukan Anna. Dari perkawinannya lahirlah dua orang anak. Salah satunya berjulukan Abdullah Subroto yang kemudian menurunkan Sujono Abdullah dan Basuki Abdullah (keduanya pelukis).


Sebagai akhir politik etis yang didalamnya terkandung usaha memajukan pengajaran maka pada dekade pertama masa XX bagi belum dewasa Indonesia masih mengalami kendala kekurangan dana belajar. Keadaan yang demikian menjadikan keprihatinan dr. Wahidin Sudirohusodo untuk sanggup menghimpun dana itu maka pada tahun 1906-1907 melaksanakan propraganda keliling Jawa. Perjalanan keliling Jawa ini dilakukan dalam rangka menganjurkan perlunya ekspansi pengajaran sebagai salah satu langkah untuk memajukan kehidupan rakyat. Anjurannya itu sanggup terlaksana tidak hanya bergantung kepada pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga sanggup terealisasinjika bangsa Indonesia juga mau berusaha sendiri dengan cara membentuk studiefonds atau dana pelajar yang hasilnya akan dipakai untuk membantu para pelajar yang pintar tetapi kurang bisa untuk dalam hal biaya. Dalam tperjalanan kelilingnya itu balasannya pada tahun 1907 hingga di Jakarta dan bertemu dengan para pelajar Stovia (Sekolah Dokter Pribumi). Disitulah Wahidin bertemu dengan cowok Sutomo dan berbincang-bincang ihwal nasib rakyat yang masih kurang menerima perhatian di bidang pendidikan. Sejak itu rupanya tumbuh pemikiran dalam diri Sutomo untuk melanjutkan keinginan Wahidin Sudirohusodo. Dari sinilah muncul gagasan untuk mendirikan suatu organisasi.

Dr Wahidin Sudirohusodo adalah salah satu penggagas pergerakan nasional, pendiri organisasi Boedi Utomo dan tokoh yang memberi wangsit terhadap usaha kemerdekaan Indonesia. Gagasan penting yang mewarnai usaha pergerakan nasional yaitu memprakarsai organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa. Diantara itu, dia juga mengemukakan gagasan ihwal taktik usaha kemerdekaan yaitu dengan mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui pendidikan, mengabdikan pengetahuannya sebagai dokter yang menunjukkan layanan kesehatan secara gratis kepada masyarakat dan memperluas pendidikan dan pengajaran dan memupuk kesadaran kebangsaan.


2. Dr. Sutomo
Dokter Sutomo yang semula berjulukan Subroto kemudian berganti nama menjadi Sutomo lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, pada tangggal 30 Juli 1888. Pada waktu mencar ilmu di Stovia (Sekolah Dokter) ia sering bertukar pikiran dengan pelajar-pelajar laintentang penderitaan rakyat akhir penjajahan Belanda. Terkesan oleh saran dr. Wahidin untuk memajukan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa  dari penjajahan, pada tanggal 20 Mei 1908 para pelajar STOVIA mendirikan Budi Utomo, organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia. Sutomo diangkat menjadi ketuanya. Tujuan organisasi itu ialah memajukan pengajaran dan kebudayaan.

Setelah lulus dari Stovia tahun 1911, Sutomo bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang, sehabis itu ia dipindahkan ke Tuban. Dari Tuban dipindahkan ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan balasannya ke Malang. Waktu bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda tempat Magetan. Sering berpindah tempat itu ternyata membawa manfaat. Ia semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara eksklusif sanggup membantu mereka. Sebagai dokter, Sutomo tidak tetapkan tarif. Adakalanya si pasien dibebaskan dari pembayaran.

Kesempatan memperdalam pengetahuan di negeri Belanda diperoleh dr. Sutomo pada tahun 1919. Setibanya kembali di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada Budi Utomo. Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, diusahakannya supaya Budi Utomo bergerak dibidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.

Pada tahun 1924 Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinan Sutomo PBI cepat berkembang. Sementara itu, tekanan-tekanan dari pemerintah Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Karena itu, pada bulan Desember 1935 Budi Utomo dan PBI digabungkan menjadi satu dengan nama Partai Indonesia Raya (Parindra). Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo ulet pula di bidang kewartawanan dan memimpin beberapa buah surat kabar. Ia meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938 dan dimakamkan disana. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember 1961, ia diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional.


3. Dr. Cipto Mangunkusumo
Cipto Mangunkusumo dilahirkan di Desa Pecagakan, Jepara. Ia yaitu putera tertua dan Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa yang bekerja sebagai guru. Meskipun demikian, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto dinilai sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam, dan rajin. Para guru menjuluki Cipto sebagai “een begaald leerling” atau murid yang berbakat. Cipto juga dengan tegas menunjukkan sikapnya. Ia menciptakan tulisan-tulisan pedas mengkritik Belanda di harian De locomotive dan Bataviaasch Nieuwsblad semenjak tahun 1907. Setelah lulus dari STOVIA, dia bekerja sebagai dokter pemerintah kolonial Belanda yang ditugaskan di Demak. Sikapnya yang tetap kritis melalui aneka macam goresan pena membuatnya kehilangan pekerjaan.

Cipto Mangunkusumo menyambut baik kehadiran Budi Utomo sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Ia menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Hal ini menjadikan perbedaan antara dirinya dan pengurus Budi Utomo lainnya. Cipto Mangunkusumo kemudian mengundurkan diri dan membuka praktek dokter di Solo, ia pun mendirikan R.A. Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat.

Ia kemudian bertemu Douwes Dekker dan bersama Suwardi Suryaningrat mereka mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Cipto selanjutnya pindah ke Bandung dan aktif menulis di harian De Express. Menjelang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dan Perancis, Cipto Mangunkusumo dan Suwardi mendirikan Komite Bumiputera sebagai reaksi atas rencana Belanda merayakannya di Indonesia.

Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Ais ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Cipto kemudian menulis artikel yang mendukung Suwardi keesokan harinya. Akibatnya, 30 Juli 1913 Cipto Mangunkusumo dan Suwardi dipenjara. Melihat kedua rekannya dipenjara, Douwes Dekker menulis artikel di De Express yang menyatakan bahwa keduanya yaitu pahlawan. Pada 18 Agustus 1913, Cipto Mangunkusumo bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker dibuang ke Belanda.

Selama di Belanda, kehadiran mereka membawa perubahan besar terhadap Indische Vereeniging, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang semula bersifat social menjadi lebih politis. Konsep Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Oleh alasannya yaitu alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan semenjak ketika itu dia bergabung dengan Insulinde. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).

Pada tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Cipto Mangunkusumo terpilih sebagai salah satu anggota oleh gubernur jenderal Hindia Belanda mewakili tokoh yang kritis. Sebagai anggota Volksraad, perilaku  Cipto Mangunkusumo tidak berubah. Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 mengusir Cipto Mangunkusumo ke luar Jawa. Cipto kemudian dibuang lagi ke Bandung dan dikenakan tahanan kota. Selama tinggal di Bandung, Cipto Mangunkusumo kembali membuka praktek dokter dengan bersepeda ke kampung-kampung. Di Bandung pula Cipto Mangunkusumo bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, ibarat Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda, termasuk oleh Sukarno.


Pada tahun 1927, Belanda Menganggap Cipto Mangunkusumo terlibat dalam upaya sabotase sehingga membuangnya ke Banda Neira. Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Ketika Cipto Mangunkusumo diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia sanggup pulang ke Jawa untuk berobat dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas menyampaikan bahwa lebih baik mati di Banda. Cipto kemudian dipindahkan ke Makasar, kemudian ke Sukabumi pada tahun 1940. Udara Sukabumi yang hambar Ternyata tidak baik bagi kesehatan dia sehingga dipindahkan lagi ke Jakarta hingga Dokter Cipto Mangunkusumo wafat pada 8 Maret 1943.



= Baca Juga =